Kamis, 28 April 2011

Menelisik Ideologi Teroris Dalam Qur'an Terjemahan Depag RI


Mengapa aktifitas terorisme di Indonesia seakan beranak pinak, bahkan bermetamorfose menjadi petualang teroris yang sulit diberantas? Benarkah, kesalahan terjemah Al-Qur’an versi Departemen Agama RI, berkontribusi besar menyemai bibit terorisme? Atau ideologi teroris lahir akibat ketidak adilan ekonomi, dan kebiadaban Densus 88 yang gemar mempertontonkan mayat terduga teroris yang diseret dijalanan tanpa prikemanusiaan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas terdengar ironi, terutama bila dikaitkan dengan peristiwa Bom Jum’at di Masjid Az-Dzikra, Kompleks Mapolresta Cirebon, 15 April 2011 lalu. Tragedi bom Jum’at, terjadi sekitar pukul 12.17 WIB disaat khatib menyelesaikan khutbah Jum’at. Saat khatib turun mimbar, pelaku maju ke shaf kedua berjejer dengan Kapolresta Cirebon, AKBP Herukoco. Dan saat takbiratul ihram, bom di tubuh pelaku meledak hingga menewaskan pelaku dan melukai puluhan jamaah shalat Jum’at, termasuk Kapolresta Cirebon.

Dalam keterangan kepolisian berdasarkan tes DNA, ciri-ciri tubuh dan kesaksian keluarga, pelaku bom bernama Muhammad Syarif, seorang yang memiliki semangat keagamaan yang tinggi, tapi lemah pengetahuan agama.

Adalah mustahil, tanpa pemicu ideologi kemarahan, seorang Muslim nekad melakukan tindakan kamikaze, meledakkan bom di depan mihrab masjid di saat hendak menunaikan shalat Jum’at. Sebab, Al-Qur’an melarang merusak tempat ibadah, sekalipun tempat ibadah non Islam, sebagaimana firman Allah: “….Sekiranya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (Qs. 22: 40).

Lalu, bagaimana meluruskan terorisme berbasis agama, tanpa deradikalisasi yang mendiskreditkan syari’at Islam? Tulisan di bawah ini, mencoba mengurai benang kusut ideologi teroris berbasis agama, berdasarkan telaah serius terhadap terjemah harfiyah ‘Al-Qur’an dan Terjemahnya’ yang diterbitkan Departemen Agama RI. Dalam kaitan ini, akan diuraikan kesalahan terjemah ayat Qur’an, bukan kesalahan tafsir, oleh tim penerjemah Depag RI, menggunakan metode komparasi dengan terjamah tafsiriyah.

Ideologi Teroris

Jika Muhammad Syarif dan mereka yang sepaham dengannya, melakukan tindakan kamikaze, meledakkan bom untuk membunuh sasaran yang diklaim sebagai musuh, dan merasa mendapat pembenaran dari kitab suci Al-Qur’an. Bukan karena Al-Qur’an memerintahkan demikian, melainkan karena terjemahan yang salah terhadap ayat Qur’an, lalu siapa yang bertanggungjawab? Pemerintah, Majelis Ulama, tokoh-tokoh Islam, adalah yang paling bertanggungjawab, karena membiarkan terjemah Qur’an yang salah beredar bebas, tanpa koreksi.

Tidak diragukan lagi, mayoritas umat Islam bangsa Indonesia memahami Al-Qur’an melalui terjemahan. Dan terjemah Al-Qur’an yang paling otoritatif secara kenegaraan adalah Qur’an Terjemah yang dipublikasikan oleh Departemen Agama. Hampir semua terjemah Qur’an di Indonesia merujuk pada Al-Qur’an dan Terjemahnya versi Depag.

Namun, setelah melakukan penelitian dan kajian seksama terhadap Al Qur’an dan Terjemahnya versi Depag RI, yang dilakukan Amir Majelis Mujahidin Muhammad Thalib, ditemukan banyak kekeliruan dan penyimpangan yang sangat fatal dan berbahaya; baik ditinjau dari segi makna lafadh secara harfiyah, makna lafadh dalam susunan kalimat, makna majazy atau haqiqi, juga tinjauan tanasubul ayah, asbabun nuzul, balaghah, penjelasan ayat dengan ayat, penjelasan hadits, penjelasan sahabat, sejarah dan tata bahasa Arab.

Alih-alih meluruskan pemahaman kaum Muslimin Indonesia, justru terjemah Qur’an ini mengandung kesalahan yang dapat menimbulkan salah faham terhadap kitab suci umat Islam; seolah-olah Al-Qur’an melegalkan terorisme dan menebarkan kebencian pada pihak lain.

Dan inilah yang kerap diisukan oleh aparat intelijen dan agitator liberal untuk meneriakkan ketakutan, perasaan terancam sebagai cermin dari sikap paranoid terhadap tuntutan penegakan syari’at Islam. Seakan terorisme yang berkembang di Indonesia secara simplistik dianggap buah dari pemahaman radikalisme Islam. Dari simplikasi tersebut muncul kategorisasi Islam moderat versus Islam radikal, sikap eksklusif vs inklusif, ideologi nasional vs transnasional dsbnya.

Secara prinsipil, terdapat ratusan terjemah ayat Qur’an, berkaitan dengan aqidah, ekonomi, hubungan sosial antar pemeluk agama, dan jihad, yang berpotensi memicu radikalisasi teroris. Sinyal berbahaya ini dapat dikemukakan beberapa ayat yang diterjemahkan secara salah, antara lain:

Pertama, “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah)….” (Qs. 2:191)

Kata waqtuluhum, yang diterjemahkan bunuhlah, dalam bahasa Indonesia berkonotasi individual, bukan antar umat Islam dengan golongan kafir. Jelas, terjemah harfiah semacam ini sangat membahayakan hubungan sosial antar umat beragama. Seolah-olah setiap orang Islam boleh membunuh orang kafir yang memusuhi Islam di mana saja dan kapan saja dijumpai.

Kalimat “bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka” dapat dipahami bahwa membunuh musuh di luar medan perang dibolehkan. Jika pemahaman ini diterjemahkan dalam bentuk tindakan, maka sangat berbahaya bagi ketenteraman dan keselamatan kehidupan masyarakat, karena pembunuhan terhadap musuh di luar medan perang sudah pasti menciptakan anarkhisme dan teror. Dan ini bertentangan dengan syari’at Islam. Oleh karena itu terjemahan yang benar, secara tafsiriyah adalah:

“Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian di mana pun kalian temui mereka di medan perang dan dalam masa perang. Usirlah musuh-musuh kalian dari negeri tempat kalian dahulu diusir…”

Kedua, pada tarjamah harfiyah Depag: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan.” (Qs. 9:5).

Kesalahan yang sama juga ditemukan pada terjemah Qs. 9:29. Apabila orang yang tidak memahami ajaran Islam, mengamalkan ayat ini sesuai terjemah Qur’an Depag, niscaya dapat mengancam hubungan sosial Muslim dengan Non muslim. Karena, setelah lewat bulan-bulan haram, yaitu bulan Sya’ban, Dzulqa’idah, Dzuhijjah dan Muharram, setiap orang dapat berbuat sesuka hatinya untuk membunuh siapa saja yang dianggap musuh Islam dari golongan musyrik, baik di Makkah maupun di luar Makkah.

Padahal, perintah dalam ayat ini adalah untuk memerangi kaum musyrik di kota Makkah yang mengganggu dan memerangi Rasulullah Saw. dan para sahabat. Jadi, bukan perintah membunuh, tetapi memerangi. Membunuh dapat dilakukan oleh perorangan tanpa perlu ada komando dan pengumuman kepada musuh. Sedangkan perang wajib terlebih dahulu diumumkan kepada musuh dan dilakukan di bawah komando khalifah atau kepala negara.

Maka terjemah tafsiriyahnya adalah: “Wahai kaum mukmin, apabila bulan-bulan haram telah berlalu, maka perangilah kaum musyrik Makkah yang tidak mempunyai perjanjian damai dengan kalian di mana saja kalian temui mereka di tanah Haram. Perangilah mereka, kepunglah mereka, kuasailah mereka, dan awasilah mereka dari segenap penjuru di tanah Haram. Jika kaum musyrik Makkah itu bertobat, lalu melakukan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya.

Ketiga, tarjamah Harfiyah Depag: « Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”. (Qs. 29:6)

Kata jihad secara umum berkonotasi ofensif, menyerang pihak lain. Padahal ayat ini turun pada fase Makkah, bersifat defensif, belum diperintahkan menyerang pihak lain yang memusuhi Islam. Karena itu, kata jihad dalam ayat ini harus dibatasi pengertiannya secara khusus, yaitu berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsu.

Bila kata jihad pada ayat ini dipahami sebagai tindakan ofensif, menyalahi fakta sejarah Nabi saw. di Makkah, dan bisa menimbulkan sikap agresif kepada kalangan Nonmuslim dalam masyarakat.

Maka tarjamah tafsiriyahnya: “Siapa saja yang berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri. Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan amal kebaikan semua manusia.”

Adalah penting disadari, bahwa maraknya berbagai aliran sesat yang mengatasnamakan agama, berupa radikalisme, termasuk liberalisme, dan tekstualisme, dikhawatirkan sebagai dampak negatif dari penerjemahan Al Qur’an yang salah ini.

Maka, kewajiban pemerintahlah mengoreksi dan meluruskan terjemah Al-Qur’an ini, dan menghentikan peredaran Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan Depag; supaya mereka yang anti Qur’an tidak mempersepsikan ayat-ayat di atas sebagai pemicu terorisme. Dan bagi generasi Muslim militan, tidak memosisikan ayat tadi sebagai pemebenaran atas tindakan teror yang marak di negeri ini. Wallahu a’lam bis shawab!

Jogjakarta, 17 April 2011

Irfan S Awwas

Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin

Markaz Pusat Majelis Mujahidin

Jl. Karanglo No. 94, Kotagede, Jogjakarta

Telp/ Hp. 0274-451665/ 08122761569

Selasa, 26 April 2011

KESEMPURNAAN AL QURAN

Al Qur'an yang secara harfiah berarti "bacaan sempurna" merupakan suatu nama pilihan Allah yang tepat, karena ga ada satu pun yang mampu menandinginya sejak manusia bisa baca tulis 5000 tahun lalu.
tak ada bacaan seperti Qur'an yang "dibaca ratusan juta orang yang ga tau artinya dan ga bisa nulis aksaranya. Bahkan dihafal orang dewasa, remaja, dan anak-anak."
tak ada bacaan yang melebihi Qur'an dalam perhatian yang diperolehnya, bukan cuma sejarahnya secara umum, tapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya sampai kpd sebab dan waktu turunnya.
tak ada bacaan seperti Qur'an yg dipelajari bukan cuma susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya, tapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi ke generasi. Trus apa yang dituangkan dari sumber yang ga pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dgn perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, tapi semua mengandung kebenaran. Al Qur'an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya berbeda-beda sesuai sudut pandang masing-masing.
tak ada bacaan seperti Al Qur'an yang diatur tata cara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal, diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus mulai berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai pada etika membacanya.
tidak ada bacaan sebanyak kosakata Qur'an yg berjumlah 77.439 kata, dgn 323.015 huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dgn padanan, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.
Allah berfirman:

"Allah menurunkan kitab Al Qur'an dgn penuh kebenaran dan keseimbangan."(QS As Syura: 17)

Apa ada kitab, buku, novel, tabloid, majalah, komik yang seperti itu?

"Katakanlah: Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al Qur'an ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya, walaupun mereka bekerja sama"(QS Al Isra: 88)

Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: "Tak ada seorangpun dalam 1500 tahun ini telah memainkan 'alat' berbunyi nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al Qur'an)."

TAFSIRAN SESAT EMANSIPASI


Raden Ajeng  Kartini, adalah seorang wanita yang kita kenal sebagai pahlawan yang memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita, yang istilahnya lebih dikenal dengan emansipasi. Beliau memperjuangkan hak-hak kaum wanita di masanya. Sebenarnya apa yang dilakukan R. A. Kartini sudah dicontohkan sejak puluhan abad lalu ketika agama Islam diturunkan. Dimana pada masa jahiliyah sebelum Islam datang, kehadiran seorang anak perempuan merupakan sebuah aib bagi keluarga. Hanya karena rasa malu para orang tua tega mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Namun Islam dengan ajaran cinta dan kasih sayang telah mengubah semua paradigma tersebut. Pada zaman Jahiliyah wanita tak berati apa-apa, mereka dianggap sampah tak berguna, yang merupakan pelampiasan nafsu kaum jahiliyah pada waktu itu. Sebelum Islam, warisan hanya diperioritaskan bagi laki-laki, dan meniadakan wanita dan anak-anak. Kemudian datanglah Islam mengangkat derajat mereka, dan memberikan hak pada wanita, sebagaimana yang di jelaskan dalam surah An-Nisaa. Namun pada hakikatnya, lelaki dan perempuan itu sama di mata Allah, hanya iman dan taqwa-lah yang membedakan mereka.

               Raden Ajeng Kartini yang mudah-mudahan selalu hidup dalam benak kita dan seolah-olah sosoknya selalu hadir di setiap hari kelahirannya mungkin boleh bangga dengan prestasi kaum wanita di era globalisasi ini. Pasalnya cukup banyak generasinya yang sukses di berbagai bidang. Hampir semua posisi penting dan menjanjikan di negeri ini sudah dapat diduduki oleh kaum perempuan. Presiden, menteri, anggota legislatif, insinyur, dokter, pengusaha, dan berbagai profesi membanggakan lainnya.

            Namun terlepas dari itu semua fenomena yang terjadi sekarang adalah di mana kaum perempuan banyak yang sudah terperosok dalam jurang kekeliruan ketika mengartikan emansipasi. Mereka merasa “merdeka” dan tanpa mereka sadari malah terjebak ketika mengeksploitasi kemerdekaannya. Sehingga wanita pun dianggap sebagai biang kerok dalam krisis moral bangsa. Hal ini dibuktikan dengan mulai dari fenomena pamer tubuh sehingga mereka menjadi objek pornografi, komersialisasi dan pelecehan seks, dan masih banyak hal lagi yang sasaran utamanya adalah perempuan. Benarkah kartini masa kini sudah lupa akan hakekat dan kodrat dirinya hanya karena berdalihkan emansipasi?

            Kebanyakan kaum perempuan di masa sekarang memang sudah jauh dari norma-norma agama, adat budaya, dan kesopanan. Mereka seolah sudah kehilangan rasa malu, hanya dengan dalih emansipasi mereka bebas melakukan apa saja. Padahal sesungguhnya letak keindahan dan kecantikan wanita terletak pada rasa malu dalam diri mereka. Harga diri mereka adalah sopan santun, akhlak mulia, dan pandai bergaul tapi tidak bebas dan terbatas. Hendaklah kaum perempuan berpakaian rapi, menutup aurat, berpakaian tidak terlalu mencolok dan berlebih-lebihan. Namun yang ada sekarang perempuan sudah tak mampu menjaga keindahan dan kecantikan fitrah mereka. Mayoritas perempuan bahkan cenderung suka merusak kecantikan dan keindahan fitrah mereka dengan rasa bangga mempertontonkan aurat, berbuat maksiat, durhaka pada orang tua dan suami hanya demi memenuhi syahwat dan mencari kesenangan duniawi.
           
            Banyak kaum wanita yang kebablasan beremansipasi dengan memilih profesi yang sebenarnya lebih cocok untuk laki-laki yang mengandalkan tenaga fisik yang besar. Kodrat mereka sebagai wanita telah hilang oleh penafsiran sesat emansipasi wanita. Inilah potret realita di kehidupan kita. Sungguh sangat disayangkan jika emansipasi wanita dinilai sebagai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Bahkan demi emansipasi ada juga wanita yang bertindak sebagai imam sholat padahal para jemaah banyak yang laki-laki. Emansipasi sah-sah saja asal tidak sampai keluar dari koridornya yang pada akhirnya hanya akan menjatuhkan harkat dan martabat wanita itu sendiri. Namun bukan berarti wanita tidak boleh bekerja. Wanita berhak bekerja. Adapun dalil yang membolehkan wanita bekerja adalah kaidah ushuliyah yang dipaparkan Imam Syafi’i dan sebagian ulama hanafiyah, ”Al-ashlu fil asyaa' al-ibahah”. Maksudnya, semua yang bentuknya boleh dilaksanakan dan mempunyai manfaat bagi manusia, selama tidak ada dalil yang melarang perbuatan tersebut, maka itu boleh dan Al-‘urf (kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat Islam). Hal ini tidak boleh diingkari, bahkan pada zaman sebelumya banyak wanita membantu suaminya, saudaranya, atau bapaknya dalam bekerja. Dengan syarat, tidak meninggalkan hal-hal yang wajib, dan pekerjaan tersebut sesuai dengan kodratnya sebagai wanita, dan pekerjaan tersebut lepas dari hal-hal yang menjurus kepada ikhtilath antara laki-laki.

Wanita dan pria memang berbeda tapi perbedaan diantara wanita sendiri jauh lebih banyak. Ada wanita yang suka mengumbar aurat atau yang lebih memilih menjaga kehormatannya. Di sini penulis bukannya membela mereka yang mengenakan jilbab, karena faktanya banyak dari mereka yang fisiknya berjilbab tapi kelakuannya sungguh memalukan. Oleh sebab terlepas dari konteks agama menutup aurat yang dimaksud adalah mengenakan pakaian yang secara logis tidak merangsang gairah seksual laki-laki. Mengapa dikatakan logikanya? Karena ada juga laki-laki yang bernafsu hanya dengan melihat wanita yang berjilbab besar tapi dengan wanita yang memakai pakaian seksi, gairah seksualnya tidak muncul. Itulah realita pikiran manusia yang susah untuk ditebak. Kembali ke pokok pembahasan di atas bahwasannya wanita yg membuka auratnya adalah wanita yg telah melakukan pelecehan terhadap kaum wanita. Kita tentu bisa melihat sendiri bagaimana cara wanita masa kini dalam berpakaian, mereka sepertinya berpakaian padahal tidak. Syariat sudah menjelaskan bahwa wanita adalah tulang punggung, jika ia baik maka baiklah semuanya. Wanita adalah kunci kebaikan suatu umat. Wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi manusia. Maka jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak, maka akan rusak pulalah generasi tersebut.













Disusun oleh: Dahnial Imi
           

SYUKUR PENGUNDANG NIKMAT

Kenyataan yg kita saksikan sehari-hari, ternyata kebahagiaan yang dirindukan bukanlah hal yang mudah didapat. Kita sering mendapati orang-orang yang pusing karena tak punya uang. Namun bersamaan dgn it kita sering melihat orang
yg menderita stres justru menimpa orang2 yg kelebihan uang.

Begitu pun berkaitan dgn rupa, harta, kedudukan, kekuasaan, popularitas, gelar, dan aksesoris dunia lainnya ternyata sama sekali tidak bisa menjamin akan ketentraman, kenikmatan, dan kebahagiaan. Apa sebabnya?

Andaikata diambil perumpamaan, bayangkan sebuah lemari kaca penuh dgn makanan lezat tapi terkunci rapat, manakah yg lebih dulu dipikirkan? Isi atau kunci?

Siapa yg normal otaknya akan berupaya mencari kuncinya. Karena kalau tidak punya kuncinya sama dgn menyiksa diri, membuat penderitaan tiada akhir, didera keinginan yg tak akan tercapai.

Hidup pun tak jauh berbeda dgn perumpamaan di atas. Sehebat apapun keinginan menikmati hidup bila tak mengetahui kuncinya maka kebahagiaan hanya ada dalam mimpi saja.

Sayang, sebagian besar manusia lebih sibuk memikirkan isi lemari daripada kuncinya. Itulah yg membuat hidup menjadi sulit bahagia.

Kunci pembuka lemari ini bernama syukur. Artinya siapapun yg tak tahu cara mensyukuri nikmat dgn benar, maka tipislah harapan dapat menikmati hidup ini dgn benar pula.

Memiliki kemampuan bersyukur berarti pula akan dapat mengikat nikmat yg ada, serta mengundang nikmat yg lebih besar yg belum ada sesuai janji Allah, " Dan ingatlah Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu besyukur pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS Ibrahim [14]:7)
Asyhaduallaailaahaillallaah wa asyhadu anna muhammadurrasuulullah... Allahuakbar..

BERPAKAIAN TAPI TELANJANG

Pernahkah kita berpikir mengapa begitu banyak perempuan dan wanita muslim yang mengenakan ‘jilbab’, namun berpakaian sangat ‘provokatif,’ misalnya menampakkan lekuk-lekuk kemolekan tubuhnya? Fungsi jilbab yang semestinya diarahkan untuk menutupi aurat, seperti dada dan pinggul, justru malah diabaikan.
Sejatinya, penutup kepala seperti itu bukanlah jilbab dalam perspektif hijab yang disyariatkan Islam. Orang-orang lebih menyebutnya dengan “kerudung gaul”. Atau diistilahkan Milasari Astuti –dalam artikelnya di sebuah situs Islam— dengan istilah “jilbab cekek”, karena memang benar-benar hanya sebatas nyekek leher. Maksudnya, seorang perempuan muslim mengenakan kerudung yang menutupi kepala dan rambutnya, namun berpakaian tipis, transparan, atau ketat sehingga menampakkan lekuk tubuhnya. Semisal, kepala dibalut kerudung atau jilbab, namun berbaju atau kaos ketat, bercelana jean atau legging yang full pressed body, dan lain sebagainya.
Fenomena kerudung gaul atau jilbab cekek adalah fenomena yang sangat membingungkan bagi setiap muslim atau muslimah yang memahami ajaran Islam dengan benar. Ini mengingat, seorang perempuan atau wanita muslim yang mengenakan kerudung gaul, dalam benaknya dia ingin menutup aurat, namun juga ingin tampil pamer modis dan cantik.
Beberapa gelintir perempuan berkomentar, “Lho, masih mending memakai kerudung atau jilbab gaul, daripada tidak sama sekali?!” Yang lainnya menyatakan, “Ini kan masih belajar untuk menutup aurat.” Ya, kerudung gaul selalu dianggap lebih baik daripada tidak menutup aurat sama sekali. Atau juga dianggap sebagai sebuah proses belajar menutup aurat. Pernyataan-pernyataan tersebut sekilas tampak benar, namun sejatinya sungguh keliru. Karena seorang muslim diharuskan untuk menjalani setiap perintah syariat secara total atau kaffah.
Alih-alih menggunakan kerudung gaul untuk proses belajar menutup aurat, namun setelah itu terkadang lupa akan aturan syariat yang sebenarnya. Walaupun kemudian mereka sadar akan aturan yang sesungguhnya, namun kemudian sulit untuk berubah. Alih-alih dipandang sebagai sebuah kebaikan daripada tidak menutup aurat sama sekali, mereka justru beriman setengah-setengah.
….kerudung gaul tak ubahnya melecehkan syariat Islam dan sebagai bentuk penyaluran selera pribadinya semata. Mereka mengenakan simbol islami, tapi juga nggak mau meninggalkan mode yang sedang booming ….
Bagi para muslimah yang memahami benar ketentuan jilbab sesuai perintah teks Al-Qur‘an dan hadits, mengenakan kerudung gaul tak ubahnya melecehkan syariat Islam dan sebagai bentuk penyaluran selera pribadinya semata. “Maksudnya pengen mengenakan simbol islami, tapi juga nggak mau meninggalkan mode yang sedang booming saat ini. Akibatnya, dalam masalah kerudung aja mesti ada aturan main yang dibuatnya sendiri,” tulis salah seorang akhwat dengan id facebook Hilya Jae-hee, ketika mengomentari topik kerudung gaul.
Begitulah, bisa jadi, para wanita muslim berkerudung gaul berniat hendak menutup aurat, namun memiliki paradigma bahwa perempuan harus ‘mensyukuri’ keindahan tubuh yang telah Allah anugerahi, lalu memamerkannya kepada orang lain. Paradigma ‘bersyukur’ ini semakin meluas di negara-negara yang dikenal ketat menjaga tradisi keagamaan seperti di Timur-Tengah (Timteng). Lihat saja, kini sudah banyak majalah di negara-negara Timteng yang sampulnya memamerkan pose perempuan yang memperlihatkan perut dan bagian-bagian tubuh lainnya. Di luar negara-negara Timteng lainnya, sudah lebih parah dan berani lagi.
Bahkan lucunya, kini semacam ada pandangan yang menyatakan bahwa perempuan yang memilih untuk berjilbab panjang dan mengenakan gamis rapih, maka mereka akan kehilangan respek dari kaum lelaki. Padahal, ditilik dari sudut pandang Islam, perempuan dewasa yang tidak menutup aurat, justru merekalah yang akan kehilangan respek dari setiap muslim dan muslimah, dan kehilangan respek dari Allah tentunya.
Maraknya fenomena penggunaan kerudung gaul atau jilbab nyekek oleh para remaja putri dan wanita muslim, boleh jadi disebabkan pengetahuan mereka yang minim mengenai hijab (jilbab). Sehingga mereka hanya ikut-ikutan saja, sebab pemahaman keislamannya belum mumpuni. Atau mereka termakan berbagai propaganda musuh-musuh Islam yang ingin menggiring kaum muslimah keluar rumah dalam keadaan ‘telanjang’. Propaganda-propaganda yang menyimpulkan bahwa jilbab adalah pakaian adat wanita Arab saja, sampai kepada pelecehan dengan istilah pakaian tradisional. Hingga banyak dari kalangan kaum muslimah termakan olehnya dan meninggalkan jilbab yang syar’i.
Padahal, jilbab yang dikehendaki syariat bermakna milhâfah, berarti baju kurung atau semacam abaya yang longgar dan tidak tipis, atau kain (kisaa‘) apa saja yang dapat menutupi, atau pakaian (tsaub) yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh. Di dalam kamus Al-Muhith dinyatakan bahwa ilbab itu laksana sirdab (terowongan) atau sinmar (lorong), yakni baju atau pakaian yang longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutupi pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.
….jilbab yang dikehendaki syariat bermakna milhâfah, berarti baju kurung atau semacam abaya yang longgar dan tidak tipis yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh….
Dalam kamus Ash-Shahhah, Al-Jauhari menyatakan, “Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut mula’ah (baju kurung). Makna jilbab seperti inilah yang diinginkan Allah ketika berfirman, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)
Para ulama pakar tafsir pun sepakat, jilbab syar’i bermakna sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada. Hal ini membuat seorang muslimah tampak elegan, santun, bermartabat, dan tentunya berkepribadian islami.
Jika seorang wanita muslimah memakai hijab (jilbab), secara tidak langsung dia berkata kepada semua kaum laki-laki, “Tundukkanlah pandanganmu, aku bukan milikmu serta kamu juga bukan milikku, tetapi aku hanya milik orang yang dihalalkan Allah bagiku. Aku orang yang merdeka dan tidak terikat dengan siapa pun, dan aku tidak tertarik kepada siapa pun, karena aku jauh lebih tinggi dan terhormat dibanding mereka yang sengaja mengumbar auratnya supaya dinikmati oleh banyak orang.”
Sementara seorang wanita muslim yang mengenakan kerudung gaul atau jilbab nyekek, ber-tabarruj atau pamer aurat dan menampakkan keindahan tubuh di depan kaum laki-laki lain, akan mengundang perhatian laki-laki hidung belang dan serigala berbulu domba. Secara tidak langsung dia berkata, “Silahkan kalian menikmati keindahan tubuhku dan kecantikan wajahku. Adakah orang yang mau mendekatiku? Adakah orang yang mau memandangiku? Adakah orang yang mau memberi senyuman kepadaku? Atau manakah orang yang berseloroh “Aduhai betapa cantiknya?”
….Wanita yang mengenakan kerudung gaul itu pamer aurat dan keindahan tubuh di depan kaum laki-laki lain. Mereka mengundang perhatian laki-laki hidung belang dan serigala berbulu domba….
Setiap laki-laki pun sontak berebut menikmati keindahan tubuhnya dan kecantikan wajahnya. Mata mereka akan menelanjanginya dari atas hingga mata kaki. Sehingga membuat laki-laki terfitnah, maka jadilah dia sasaran empuk laki-laki penggoda dan suka mempermainkan wanita.
Inilah mengapa para pengguna kerudung gaul diibaratkan berpakaian namun telanjang. Hal ini sebagaimana disinyalir Rasulullah dalam sabda beliau, “Dua golongan dari ahli neraka yang tidak pernah aku lihat: seorang yang membawa cemeti seperti ekor sapi yang dia memukul orang-orang, dan perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggok-lenggok, kepalanya bagaikan punuk onta yang bergoyang. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan baunya, sekalipun ia bisa didapatkan sejak perjalanan sekian dan sekian. (HR. Muslim)
Ketika ditanya mengenai sabda Nabi: “Berpakaian tapi telanjang”, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjawab, “Yakni wanita-wanita tersebut memakai pakaian, akan tetapi pakaian mereka tidak tertutup rapat (menutup seluruh tubuhnya atau auratnya).”
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun (berpakaian namun telanjang) adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Lihat: Jilbab Al-Mar‘ah Muslimah, 125-126).
….Rasulullah bersabda bahwa wanita berpakaian tapi telanjang (kasiyatun ‘ariyatun) itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan baunya….
Al-Munawi, dalam Faidh Al-Qadir, mengatakan mengenai makna ‘berpakaian namun telanjang’, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.”
Hal senada juga dikatakan oleh Ibnul Jauzi yang berpendapat bahwa makna kasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna. Pertama, wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang. Kedua, wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang. Ketiga wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya.
Kesimpulannya, wanita berpakaian telanjang adalah wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya, atau memakai pakaian ketat, sehingga terlihat lekuk tubuhnya, dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.
PAKAIAN ISLAMI BAGI WANITA (TIGA SYARAT HIJAB)
Ada beberapa syarat yang harus dipahami remaja putri dan wanita muslim ketika hendak mengenakan hijab atau jilbab syar’i, sebagaimana dilansir situs Islam www.alsofwah.or.id.
PERTAMA, hendaknya menutup seluruh tubuh dan tidak menampakkan anggota tubuh sedikit pun, selain yang dikecualikan karena Allah berfirman, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak.” (An-Nur: 31)
KEDUA, hendaknya hijab tidak menarik perhatian pandangan laki-laki bukan mahram. Agar hijab tidak memancing pandangan kaum laki-laki, maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Hendaknya hijab terbuat dari kain yang tebal, tidak menampakkan warna kulit tubuh (transfaran).
2. Hendaknya hijab tersebut longgar dan tidak menampakkan bentuk anggota tubuh.
3. Hendaknya hijab tersebut tidak berwarna-warni dan tidak bermotif.
Hijab bukan merupakan pakaian kebanggaan dan kesombongan, karena Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mengenakan pakaian kesombongan (kebanggaan) di dunia maka Allah akan mengenakan pakaian kehinaan nanti pada Hari Kiamat kemudian dibakar dengan Neraka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan hadits ini hasan).
Hendaknya hijab tersebut tidak diberi parfum atau wewangian berdasarkan hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Siapa pun wanita yang mengenakan wewangian, lalu melewati segolongan orang agar mereka mencium baunya, maka dia adalah wanita pezina.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa‘i dan At-Tirmidzi, dan hadits ini Hasan).
….Hendaknya pakaian atau hijab yang dikenakan tidak menyerupai pakaian laki-laki atau pakaian kaum wanita kafir….
KETIGA, hendaknya pakaian atau hijab yang dikenakan tidak menyerupai pakaian laki-laki atau pakaian kaum wanita kafir, karena Rasulullah bersabda, sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari mereka.”
Rasulullah juga mengutuk seorang laki-laki yang mengenakan pakaian wanita dan mengutuk seorang wanita yang mengenakan pakaian laki-laki. Wallahu ‘Alam.

voa-islam.com

PENGARUH MAKANAN TERHADAP JIWA MANUSIA

Tidak dapat disangkal bahwa makanan mempunyai pengaruh yg sangat besar terhadap pertumbuhan dan kesehatan jasmani manusia. Persoalan yg akan diketengahkan di sini adalah pengaruh makanan terhadap jiwa manusia.

"Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yg diwahyukan kepadaku sesuatu yg diharamkan bagi orang-orang yg hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yg mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu RIJS, atau binatang yg disembelih atas nama selain Allah..." (QS Al An'am: 145)

Al-Harali seorang ulama besar (1232 M) berpendapat bahwa jenis makanan dan minuman dapat mempengaruhi jiwa dan sifat-sifat mental pemakannya. Ulama ini menyimpulkan pendapatnya dgn menganalisis kata RIJS yg disebutkan Al-Qur'an sebagai alasan untuk mengharamkan makanan tertentu, seperti keharaman minuman keras (QS Al Maidah: 90) bangkai, darah, dan daging babi (QS Al An'am: 145).

Kata RIJS menurutnya mengandung arti "keburukan budi pekerti serta kebobrokan moral" sehingga, apabila Allah menyebut jenis makanan tertentu dan menilainya sebagai RIJS, maka ini berarti bahwa makanan tersebut dapat menimbulkan keburukan budi pekerti.

Sejalan dengan pendapat di atas adalah pendapat yg dikemukakan oleh ulama kontemporer, Syaikh Taqi Falsafi, dalam bukunya Child between Heredity and Education. Dalam buku ini, dia menguatkan pendapatnya dengan mengutip Alexis Carrel, pemenang hadiah Nobel Kedokteran. Carrel menulis dalam bukunya Man the Unknown lebih kurang sebagai berikut:
Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan.