Selasa, 26 April 2011

TAFSIRAN SESAT EMANSIPASI


Raden Ajeng  Kartini, adalah seorang wanita yang kita kenal sebagai pahlawan yang memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita, yang istilahnya lebih dikenal dengan emansipasi. Beliau memperjuangkan hak-hak kaum wanita di masanya. Sebenarnya apa yang dilakukan R. A. Kartini sudah dicontohkan sejak puluhan abad lalu ketika agama Islam diturunkan. Dimana pada masa jahiliyah sebelum Islam datang, kehadiran seorang anak perempuan merupakan sebuah aib bagi keluarga. Hanya karena rasa malu para orang tua tega mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Namun Islam dengan ajaran cinta dan kasih sayang telah mengubah semua paradigma tersebut. Pada zaman Jahiliyah wanita tak berati apa-apa, mereka dianggap sampah tak berguna, yang merupakan pelampiasan nafsu kaum jahiliyah pada waktu itu. Sebelum Islam, warisan hanya diperioritaskan bagi laki-laki, dan meniadakan wanita dan anak-anak. Kemudian datanglah Islam mengangkat derajat mereka, dan memberikan hak pada wanita, sebagaimana yang di jelaskan dalam surah An-Nisaa. Namun pada hakikatnya, lelaki dan perempuan itu sama di mata Allah, hanya iman dan taqwa-lah yang membedakan mereka.

               Raden Ajeng Kartini yang mudah-mudahan selalu hidup dalam benak kita dan seolah-olah sosoknya selalu hadir di setiap hari kelahirannya mungkin boleh bangga dengan prestasi kaum wanita di era globalisasi ini. Pasalnya cukup banyak generasinya yang sukses di berbagai bidang. Hampir semua posisi penting dan menjanjikan di negeri ini sudah dapat diduduki oleh kaum perempuan. Presiden, menteri, anggota legislatif, insinyur, dokter, pengusaha, dan berbagai profesi membanggakan lainnya.

            Namun terlepas dari itu semua fenomena yang terjadi sekarang adalah di mana kaum perempuan banyak yang sudah terperosok dalam jurang kekeliruan ketika mengartikan emansipasi. Mereka merasa “merdeka” dan tanpa mereka sadari malah terjebak ketika mengeksploitasi kemerdekaannya. Sehingga wanita pun dianggap sebagai biang kerok dalam krisis moral bangsa. Hal ini dibuktikan dengan mulai dari fenomena pamer tubuh sehingga mereka menjadi objek pornografi, komersialisasi dan pelecehan seks, dan masih banyak hal lagi yang sasaran utamanya adalah perempuan. Benarkah kartini masa kini sudah lupa akan hakekat dan kodrat dirinya hanya karena berdalihkan emansipasi?

            Kebanyakan kaum perempuan di masa sekarang memang sudah jauh dari norma-norma agama, adat budaya, dan kesopanan. Mereka seolah sudah kehilangan rasa malu, hanya dengan dalih emansipasi mereka bebas melakukan apa saja. Padahal sesungguhnya letak keindahan dan kecantikan wanita terletak pada rasa malu dalam diri mereka. Harga diri mereka adalah sopan santun, akhlak mulia, dan pandai bergaul tapi tidak bebas dan terbatas. Hendaklah kaum perempuan berpakaian rapi, menutup aurat, berpakaian tidak terlalu mencolok dan berlebih-lebihan. Namun yang ada sekarang perempuan sudah tak mampu menjaga keindahan dan kecantikan fitrah mereka. Mayoritas perempuan bahkan cenderung suka merusak kecantikan dan keindahan fitrah mereka dengan rasa bangga mempertontonkan aurat, berbuat maksiat, durhaka pada orang tua dan suami hanya demi memenuhi syahwat dan mencari kesenangan duniawi.
           
            Banyak kaum wanita yang kebablasan beremansipasi dengan memilih profesi yang sebenarnya lebih cocok untuk laki-laki yang mengandalkan tenaga fisik yang besar. Kodrat mereka sebagai wanita telah hilang oleh penafsiran sesat emansipasi wanita. Inilah potret realita di kehidupan kita. Sungguh sangat disayangkan jika emansipasi wanita dinilai sebagai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Bahkan demi emansipasi ada juga wanita yang bertindak sebagai imam sholat padahal para jemaah banyak yang laki-laki. Emansipasi sah-sah saja asal tidak sampai keluar dari koridornya yang pada akhirnya hanya akan menjatuhkan harkat dan martabat wanita itu sendiri. Namun bukan berarti wanita tidak boleh bekerja. Wanita berhak bekerja. Adapun dalil yang membolehkan wanita bekerja adalah kaidah ushuliyah yang dipaparkan Imam Syafi’i dan sebagian ulama hanafiyah, ”Al-ashlu fil asyaa' al-ibahah”. Maksudnya, semua yang bentuknya boleh dilaksanakan dan mempunyai manfaat bagi manusia, selama tidak ada dalil yang melarang perbuatan tersebut, maka itu boleh dan Al-‘urf (kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat Islam). Hal ini tidak boleh diingkari, bahkan pada zaman sebelumya banyak wanita membantu suaminya, saudaranya, atau bapaknya dalam bekerja. Dengan syarat, tidak meninggalkan hal-hal yang wajib, dan pekerjaan tersebut sesuai dengan kodratnya sebagai wanita, dan pekerjaan tersebut lepas dari hal-hal yang menjurus kepada ikhtilath antara laki-laki.

Wanita dan pria memang berbeda tapi perbedaan diantara wanita sendiri jauh lebih banyak. Ada wanita yang suka mengumbar aurat atau yang lebih memilih menjaga kehormatannya. Di sini penulis bukannya membela mereka yang mengenakan jilbab, karena faktanya banyak dari mereka yang fisiknya berjilbab tapi kelakuannya sungguh memalukan. Oleh sebab terlepas dari konteks agama menutup aurat yang dimaksud adalah mengenakan pakaian yang secara logis tidak merangsang gairah seksual laki-laki. Mengapa dikatakan logikanya? Karena ada juga laki-laki yang bernafsu hanya dengan melihat wanita yang berjilbab besar tapi dengan wanita yang memakai pakaian seksi, gairah seksualnya tidak muncul. Itulah realita pikiran manusia yang susah untuk ditebak. Kembali ke pokok pembahasan di atas bahwasannya wanita yg membuka auratnya adalah wanita yg telah melakukan pelecehan terhadap kaum wanita. Kita tentu bisa melihat sendiri bagaimana cara wanita masa kini dalam berpakaian, mereka sepertinya berpakaian padahal tidak. Syariat sudah menjelaskan bahwa wanita adalah tulang punggung, jika ia baik maka baiklah semuanya. Wanita adalah kunci kebaikan suatu umat. Wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi manusia. Maka jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak, maka akan rusak pulalah generasi tersebut.













Disusun oleh: Dahnial Imi
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar